Senin, 25 Juli 2016

Bencana Longsor dan Banjir Sangihe

Sesudah bencana longsor Purworejo & Banjarnegara yg lumayan menyita perhatian & duka di Pulau Jawa, info berkenaan bencana lain juga datang dari Propinsi Sulawesi Utara, tepatnya di Kab Kepulauan Sangihe di sebelah utara Kota Manado. Banjir bandang & longsor Sangihe menerjang deras terhadap Selasa, 21 Juni 2016.

Data terbaru yg dicatat oleh Tubuh Nasional Penanggulangan Bencana menyebut bencana longsor & banjir bandang di Sangihe berjalan di enam kecamatan sekaligus, meliputi Kecamatan Tahuna, Tahuna Barat, Tahuna Timur, Manganitu, Kendehe, Tamako, Manganitu Selatan, & Totoare.

s/d hri ini, Jumat 24 Juni 2016 situasi di Sangihe masihlah ditetapkan yang merupakan keadaan tanggap darurat bencana menonton impak & kerusakan yg disebabkan lumayan parah. Mengutip rilisan resmi Badan Nasional Penanggulangan Bencana, tidak cuma menyebabkan korban jiwa, rentetan bencana di Sangihe sudah merusak sedikitnya 209 hunian.

Seperti yg ketahuan, cuaca ekstrem di Lautan Pasifik sebelah utara kota Manado dalam sekian banyak hri tempo hari pernah memicu badai ekstrem diatas Kab Kepulauan Sangihe. Dalam satu hri, bencana banjir, longsor, cuaca ekstrem & gelombang pasang menerjang sekaligus. Bahkan hingga hair ini, gelombang pasang & angin kencang tetap melanda sekitaran pesisir pantai Sangihe.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana menghitung, kerugian akibat bencana di Sangihe diperkirakan mencapai lebih dari Rupiah. 57 miliar meliputi kerusakan infrastruktur hunian & kerugian yg mesti ditanggung ribuan penangkap ikan lantaran tidak mampu melaut akibat cuaca jelek.

Detil kerugian terupdate yg sukses dihimpun Badan Nasional Penanggulangan Bencana akibat bencana longsor & banjir di Sangihe meliputi 44 hunian rusak berat, 116 hunian rusak sedang, & 49 hunian rusak ringan. Sementara itu ada pun dua jembatan penghubung & jalan desa sepanjang 1 km ambles rusak berat tidak dapat dilalui, maka menyebabkan lima kampung & tiga kecamatan di Sangihe terisolasi. Cuma sanggup ditembus bersama terjadi kaki.

Tidak Cuma merusak hunian penduduk & akses jalan, bencana longsor & banjir di Sangihe pula hingga memunculkan seken kerusakan fasilitas pendidikan & media umum. Tujuh sekolah keadaannya rusak diterjang banjir sementara itu perkebunan sawit & pertanian penduduk yg dihempas banjir diperkirakan mencapai 10 hektare lahan.

sumber

Kamis, 14 Juli 2016

40 Juta Warga Indonesia Hidup Terancam Longsor

Lebih dari 40 jiwa meregang nyawa tertimbun tumpukan tanah longsor yg ambles dari tebing setinggi puluhan meter. Meski mungkin saja potensi bencana longsor dapat diprediksi bersama memicu alarm penanda pergerakan tanah, tetapi konsisten saja keadaan bangunan hunian yg dibangun dekat sekali dgn tebing curam memicu potensi longsor. Kenyataannya kajian mengenai daerah rawan longsor belum jadi pertimbangan penduduk dalam membangun rumah.

Mengkaji potensi bencana longsor di Indonesia, Tubuh Nasional Penanggulangan Bencana bahkan mempunyai detil data yg lebih mengkhawatirkan. Menurut hitungan Badan Nasional Penanggulangan Bencana, ada 275 daerah rawan longsor di semua Indonesia. Sebahagian besar nya berada di Propinsi Jawa Tengah & ja-bar.

Dari beberapa ratus titik daerah rawan longsor itu, Badan Nasional Penanggulangan Bencana memperkirakan ada lebih dari 40,9 juta penduduk yg menempati kawasan rawan longsor. Artinya ada risiko 40 juta jiwa masyarakat terpapar bencana tanah longsor kapan pula, apa juga pemicunya. Jumlah risiko 40 juta jiwa penduduk terancam longsor ini juga mampu dibilang gemilang. Kalau risiko bencana longsor tidak mampu diminimalkan, tiap-tiap kali ada bencana longsor, bisa jadi dapat jatuh korban jiwa saking sebanyak risiko jiwa yg hidup dalam potensi longsor.

Selagi ini menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana, masyarakat lokal di tepian bukit & gunung terjal lebih tidak jarang mengabaikan potensi longsor yg tersaji di depan mata. Kepada mereka telah paham keadaan hidup mereka dikelilingi risiko bencana longsor. Tetapi mahalnya harga tanah & hunian di tempat aman pula ketidakpedulian masyarakat menyebabkan sejumlah hunian yg di bangun persis di tepian bukit terjal rawan longsor. Potensi itu serta semakin meningkat lagi disaat intensitas hujan meningkat signifikan.

Kenekatan penduduk membangun ruangan hunian di daerah rawan longsor juga jadi gambaran betapa lemahnya pengawasan pemerintah daerah dalam mengatur implementasi tata tempat di Indonesia, khususnya di daerah terpencil di balik bukit terjal & gunung tinggi.

Padahal sampai kini pemerintah pusat mengaku telah mengirimkan ribuan peta keadaan rawan longsor di Indonesia cepat ditujukan pada pemerintah daerah setempat. Tapi upaya mitigasi & kesiapsiagaan bencana longsor itu dipercaya masihlah minim perhatian. Bahkan alarm peringatan dini yg dibangun di ruang rawan longsor amat sering rusak dikarenakan tak dirawat & dipakai dengan cara seharusnya.
sumber blog.act.id